Jumat, 18 Januari 2008

Revolusi Hijau Mengecewakan Petani?


Kontribusi dari Goeswono Soepardi
Senin, 16 Oktober 2000

Cukup mengejutkan. Sekumpulan petani yang diundang ikut merayakan Dies Natalis ke-37 IPB di Kampus Darmaga
September 2000, menuntut IPB meminta maaf secara nasional atas kekecewaan petani karena revolusi hijau
menyengsarakan mereka.
Cukup mengejutkan. Sekumpulan petani yang diundang ikut merayakan Dies Natalis ke-37 IPB di Kampus Darmaga
September 2000, menuntut IPB meminta maaf secara nasional atas kekecewaan petani karena revolusi hijau
menyengsarakan mereka.
Alasannya, penggunaan pupuk dan pestisida telah merusak tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan produksi.
Akibat pemakaian pupuk inorganik terus menerus dan takarannya selalu ditingkatkan, menyebabkan tanah mengalami
degradasi, sehingga pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.
Pestisida yang digunakan bertubi-tubi tanpa pandang bulu menyebabkan tertempanya generasi hama dan penyakit yang
jauh lebih tangguh dari sebelumnya. Varietas unggul yang selalu dimunculkan setiap kali hama/penyakit, makin tangguh
dan penyerapan hara dari tanah menenggelamkan varietas milik petani yang menghasilkan nasi punel dan wangi.
Selain itu juga kian menyulitkan pelaksanaan usahatani karena petani dibingungkan oleh anjuran memakai varietas
baru. Petani terus dihadapkan perubahan ke arah kian sulitnya budidaya tani dan jelimetnya saran teknis yang diberikan
penyuluh pertanian. Akibatnya, petani merasa sama sekali tidak tenang memikirkan apa lagi yang harus dilakukan di
musim tanam berikutnya.
Birokrat yang merencanakan sarana produksi dan penyelia teknologi (peneliti dan penyuluh) selama berpuluh tahun
bisanya hanya berpikiran baku sehingga hasil perencanaan mereka berakhir dengan jumlah kredit baku, jumlah saprodi
baku, teknologi budidaya baku, cara penyuluhan baku, harga beli hasil pertanian baku, dan kebijakan baku yang
diberlakukan secara nasional.
Mereka tidak sadar nusantara ini merupakan kepulauan yang ekologi dan kemampuan sumberdaya alamnya berbeda.
Tidak mengherankan dengan wawasan baku nasional keunggulan setempat nyaris tidak tergali. Baru lima tahun terakhir
wawasan baku nasional dicampakkan, diganti wawasan tidak baku secara nasional.
Kini mulai ada anjuran memakai varietas unggul lokal, saran pemupukan yang didasarkan atas kebutuhan lokal yang
menjaga keseimbangan kebutuhan tanaman dan kemampuan tanah menyediakan hara, dan lainnya. Tetapi, harga beli
hasil pertanian tetap diberlakukan baku secara nasional. Meski terjadi perubahan wawasan, kinerja pertanian tetap
terpuruk. Pengadaan kredit usaha tani tidak kunjung terbenahi. Harga hasil pertanian tetap gonjang-ganjing. Tidak
mengherankan petani tetap merasa kecewa.
Pertanyaan menggoda, benarkah pernyataan sekumpulan petani yang datang ke IPB bahwa semua petani Indonesia
mengeluhkan kesukaran yang ditimbulkan akibat revolusi hijau yang penjabaran praktiknya dalam bentuk bimbingan
massal dan berkembang menjadi intensifikasi massal dan intensifikasi khusus itu menyiksa kerja petani? Benarkah
dinamika usahatani dari panca usaha, berkembang menjadi sapta usaha, disempurnakan menjadi dasa usaha, membuat
petani tidak tenang memikirkan apa yang harus dikerjakan di musim tanam berikutnya?
*** AGAKNYA hanya di Indonesia, ada program intensifikasi pertanian menyebabkan petani menderita. Sebelum tahun
1963, prestasi petani dalam bidang pertanian-ketika belum mengenal pupuk, belum mengenal varietas unggul, belum
mengenal tandur jajar, belum mengenal tanam serempak, dan belum mengenal pestisida-adalah apa adanya.
Orang nrimo apa adanya yang dihasilkan petani, meski di sana-sini terjadi kelaparan atau busung perut. Belum semua
penduduk menuntut makan nasi, meski Bung Karno berorasi, bangsa yang tidak makan nasi adalah bangsa yang masih
dijajah. Herannya, yang biasa makan thiwul, jagung/sorgum, sagu, atau ubi jalar, tidak kedengaran menuntut ingin
makan nasi. Mereka puas dengan apa yang mereka biasa makan.
Saat itu penduduk Indonesia belum mencapai 90 juta jiwa. Luas panen pertanian baru 10 juta hektar. Dari jumlah itu
baru 30 persen yang dapat dilayani irigasi teknis. Karena produktivitas usahatani saat itu amat bersahaja, dengan area
panen seluas itu dan tidak semua penduduk "biasa makan nasi", kita tidak merasakan adanya tekanan harus mengimpor
pangan.
Yang tidak terperikan ialah, dalam waktu 37 tahun kemudian penduduk melipat lebih dari dua kali menjadi 205 juta jiwa,
sedangkan luas panen kita hanya bertambah menjadi 15 juta hektar dan yang dapat diirigasi teknis melompat mendekati
50 persen. Seluruh warga, melalui doktrin pegawai negeri, tentara, dan polisi mendapat jatah beras, menjadi kulino
dengan nasi. Suasana adem pangan sebelum tahun 1963 tidak dirasakan lagi.
Keadaan pangan saat ini benar-benar mencekam penduduk baik sebagai konsumen maupun produsen. Petani
mengeluh karena hasil jerih payahnya ditelikung kebijakan pemerintah yang mengizinkan segala macam pangan masuk
dari luar secara bebas, bebas dari pembatasan jumlah dan mutu, serta bebas dari kewajiban membayar bea masuk.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang menyetujui dinaikkannya semua sarana yang terkait dengan produksi pertanian,
berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, dan melencengnya penggunaan kredit usaha tani.
Akibat kebijakan yang amburadul itu, petani dihadapkan pada biaya produksi yang tinggi dan hasil produksinya harus
bersaing dengan harga pangan impor. Barangkali keluhan petani yang datang ke IPB itu dimaksudkan agar
kesengsaraan akumulatif petani yang sebenarnya merupakan akibat kebijakan impor, pengadaan, dan niaga pangan
pemerintah yang amburadul dicoba diteumbleuhkeun ke revolusi hijau yang penerapannya berupa intensifikasi
usahatani.
Mengingat lahirnya bimbingan massal (bimas) dibidani IPB, maka tokoh bimas IPB (Prof Gunawan, Ir Sukmana
(Almarhum), Ir Djatijanto, beratus staf dan beribu mahasiswa tingkat sarjana beserta Menteri Pertanian (Prof Toyib, Ir
Affandi Almarhum, Prof Syarifuddin, Prof Soleh dan Prof Bungaran) dibidik sebagai penyebab sengsaranya petani.
Rumah Kiri | Media Progresif Kaum Kiri Indonesia
http://rumahkiri.net _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 19 January, 2008, 04:50
Apakah ini yang disebut reformasi di bidang politik pertanian.
Meski ada revolusi hijau yang diterjemahkan menjadi program intensifikasi yang menyebabkan kinerja pertanian
meningkat seperti yang ditunjukkan produksi padi, kedelai, jagung, dan berkembang dari 2,5 ton menjadi 10 ton gabah,
0,6 ton menjadi 1,6 ton ose kedelai, dan 1,6 ton menjadi 6,8 ton pipilan jagung/hektar/musim tanam, swa sembada
pangan hanya bisa dicapai tahun 1984, bertahan sampai tahun 1986. Setelah itu, pengadaan pangan (kedelai, jagung,
beras, dan gula) terpuruk terus dalam ketagihan impor pangan sampai sekarang.
*** BETULKAH revolusi hijau menyengsarakan petani? Revolusi hijau lahir di Meksiko. Pakar genetika Amerika Borlaugh
ketika bekerja di pusat pengembangan gandum yang berkedudukan di Meksiko berhasil merekayasa varietas gandum
dengan ciri-ciri berproduksi tinggi, tahan hama/penyakit, tahan rebah, amat responsif terhadap pemupukan.
Keberhasilan merekayasa varietas unggul mampu mengatasi kebuntuan produksi dan memberi harapan makan bagi
umat di muka bumi yang bertambah pesat sekaligus menggugurkan teori Malthus yang mengatakan dunia tidak bisa
memberi makan kalau dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang dahsyat. Keberhasilan menembus kebuntuan
produksi dan membuka harapan dapat memberi makan umat diberi nama revolusi hijau dan diakui sebagai
kecemerlangan ilmiah yang diganjar hadiah Nobel yang pertama di bidang pertanian.
Nuansa keberhasilan menembus kebuntuan produksi dan membuka harapan dapat memberi makan mengilhami staf
pengajar Jurusan Agronomi yang dipelopori Dr Ir Gunawan Satari dan Ir Djatijanto, dan dimotori Ir Sukmana untuk
membenahi budidaya padi dan menciptakan keseragaman dan keserempakkan penerapan budidaya padi sawah.
Pembenahan budidaya mencakup penyeragaman dan keteraturan menanam (lahir teknik tandur jajar), memupuk secara
tertib (cikal bakal pemupukan berimbang), dan mengendalikan gulma (lahir alat landak, semacam kitiran untuk mencabut
kemudian membenamkan gulma ke dalam lumpur). Keserempakkan diarahkan untuk mendapatkan pelayanan air irigasi
secara optimal (usaha menyesuaikan jadwal olah tanah dan tanam dengan sistem golongan irigasi) dan mengecoh
hama/penyakit serta mengencerkan dampak hama/penyakit.
Dari hasil kerja keras itu lahir rekayasa sosial Bimbingan Massal yang di dalamnya diterapkan secara konsisten
budidaya Panca Usaha Pertanian. Temuan ini merupakan revolusi budidaya tani di kalangan petani. Bimbingan Massal
merupakan penerapan konsep keserempakan dimana petani secara massal dibimbing untuk menerapkan budidaya
Panca Usaha secara konsisten dan benar. Dalam proses mensosialisasikan budidaya Panca Usaha Pertanian
dikerahkan beratus staf dan beribu mahasiswa tingkat Sarjana IPB untuk menyuluhkan sekaligus mengawal penerapan
teknologi budidaya tersebut.
Pengerahan warga civitas academica IPB merupakan wujud pengabdian sekaligus membantu penyuluh pertanian yang
jumlahnya terbatas saat itu. Sosialisasi Panca Usaha Pertanian tidak terbatas di Jawa, tetapi menyebar ke seluruh
Nusantara. Saat itu, Fakultas Pertanian selain IPB tergerak turut bahu membahu mewujudkan dapat dinikmatinya
revolusi hijau oleh petani. Kesuksesan mereka tidak luput dari kerja keras dan keberhasilan Siregar beserta anak
didiknya menghasilkan berbagai varietas unggul padi.
Berkembangnya penerapan Panca Usaha Pertanian mendorong bangkitnya gairah merekayasa varietas-varietas
unggul, perlunya didirikan pabrik pupuk (urea merupakan pupuk pertama yang diproduksi di Indonesia, disusul ZA, TSP,
dan lainnya), lahirnya alat pengolah tanah (traktor tangan), pemroses hasil pertanian (di antaranya perontok gabah,
huller, dan lainnya), dan munculnya berbagai formulasi pestisida (sekarang sudah ada industri pestisida). Peran lembaga
penelitian dan perguruan tinggi menjadi menonjol dalam menyajikan temuan teknologi baru dan berbagai
penyempurnaan teknologi budidaya lama yang sasarannya adalah meningkatkan dan mengamankan produksi sekaligus
mengamankan kelangsungan hidup manusia dan membuka peluang hidup bagi generasi berikut bebas dari rasa takut
tidak bisa makan.
Panca Usaha Pertanian terus berkembang. Berbagai lembaga terkait, langsung atau tidak langsung, dengan pertanian
diikutkan dalam Bimbingan Massal. Muncul rekayasa sosial Sapta Usaha Pertanian dan akhirnya menjadi Dasa Usaha
Pertanian. Karena Panca, Sapta, atau Dasa Usaha Pertanian sebenarnya merupakan usaha mengintensifkan budidaya
pertanian secara massal, maka lahir rekayasa teknologi bernama Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum, dan
Intensifikasi Khusus. Ketiga jenis intensifikasi sebenarnya sama, hanya penekanan pada sasaran yang ingin dicapai
agak berbeda dan petani yang diikutkan dalam program itu agak spesifik.
Semua program intensifikasi didampingi kesempatan memperoleh kredit usaha pertanian. Kredit diadakan agar sasaran
intensifikasi tercapai. Di sini sering terjadi pemaksaan terselubung. Petani penerima kredit usaha pertanian wajib ikut
program pemerintah yang pada dasarnya merupakan program peningkatan produksi dan hampir tidak memperhatikan
segi komersialnya. Selama niaga komoditas pangan ada dalam genggaman monopoli pemerintah (cq Bulog) petani tidak
begitu merasakan dampak negatif dari bisnis pangan. Harga beli dan jual komoditas pertanian sepenuhnya dikuasai
pemerintah.
*** ERA segala diatur dan ditentukan berakhir dengan lahirnya gerakan reformasi di segala bidang. Tata ekonomi
berubah total. Peran monopoli yang semula dimainkan pemerintah, dihapus. Perdagangan hampir di segala sektor
seketika menjadi bebas. Keterpurukan ekonomi, ketidak-menentuan arah politik, ketidak-stabilan keamanan, dan kurang
fokusnya pemerintah mempersulit kehidupan masyarakat, terutama kaum petani. Gonjang-ganjing kebijakan di bidang
impor pangan, membuat kehidupan petani menjadi tidak menentu. Pantas mereka kecewa. Pantas mereka mudah
termakan isyu, kesengsaraan kehidupan mereka akibat revolusi hijau yang dipelopori IPB yang diterapkan di Indonesia.
Menggelandang petani ke arah kesimpulan itu patut disesalkan. Petani lupa menyadari, keberhasilan usaha mereka
adalah berkat Panca Usaha. Dan kesengsaraan mereka sebenarnya bukan disebabkan oleh revolusi hijau tetapi oleh
kebijakan amburadul pemerintah. Penulis yakin, IPB tidak pernah memiliki pikiran atau niat menyengsarakan petani.
Dengan cara itu petani memiliki daya saing yang kuat dalam menghadapi era pasar globalisasi.
Setelah mengikuti uraian ini, mudah-mudahan sekumpulan petani yang datang ke IPB dengan tuntutan agar IPB
meminta maaf secara nasional karena membuat mereka sengsara akibat revolusi hijau, merenungkan kembali
Rumah Kiri | Media Progresif Kaum Kiri Indonesia
http://rumahkiri.net _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 19 January, 2008, 04:50
tuntutannya, berubah pikiran, dan berbalik merasa berterima kasih karena IPB telah berbuat baik dan jauh dari niat
menyengsarakan petani. Institut Pertanian Bogor dilahirkan dari petani, diilhami oleh petani, dan berbakti bagi petani.
Goeswono Soepardi, Pengamat Pertanian.
Sumber: Kompas, Senin, 16 Oktober 2000

Tidak ada komentar: